Tujuan pendidikan sekolah yang dikelola oleh para Jesuit adalah membentuk orang muda menjadi manusia yang unggul dalam bidang akademik yang mendorong mereka untuk meraih kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal kepekaan hati nurani, orang muda didorong untuk makin mengenali diri mereka sendiri, mengembangkan kemampuan untuk menumbuhkan hidup rohani, dan memiliki sebuah pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang masyarakat dan segala persoalannya. Dalam rangka menumbuhkan semangat berbela rasa, orang muda didorong untuk membuka hati mereka agar solider dengan dan berani menanggung penderitaan sesama. Dalam rangka menumbuhkan nilai-nilai di atas, orang muda didorong pula membangun komitmen untuk menegakkan iman dan memperjuangkan perubahan sosial, politik, dan struktur sosial serta alam ciptaan di negara kita dengan cara damai untuk mencapai keadilan.
Oleh karena itu, Seminar Internasional tentang Pedagogi dan Spiritualitas Ignasian (SIPEI – Seminario Internacional sobre Pedagogía y Espiritualidad Ignacianas) yang diselenggarakan di Manresa, Spanyol pada tahun 2014 membahas empat nilai tersebut sebagai pilar dan latar belakang Pendidikan Jesuit. Di bawah ini merupakan penjelasan keempat C dari seminar tersebut yang dilengkapi lewat profil lulusan sekolah Yesuit di Indonesia beserta Action Statement dari pertemuan para Delegat Educationis sekolah-sekolah Yesuit di seluruh dunia di Rio de Janeiro, Brasil pada tahun 2017. Berikut adalah penjelasannya beserta dua nilai khas yang juga dikembangkan di SMA Kolese Gonzaga.
Competence menurut Pater Adolfo Nicolás SJ (pimpinan tertinggi Serikat Yesus dalam periode 2008-2015), adalah kemampuan akademik untuk memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan kata lain, competence adalah dimensi akademik yang dimiliki seorang individu yang membawanya pada pengetahuan yang mendalam, pengembangan talenta, keterampilan dan kemampuan yang tepat untuk mencapai sebuah prestasi profesional yang efektif bagi keunggulan manusiawi. Singkatnya, kompeten ialah kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu secara efisien dan memuaskan sehingga ia mampu diandalkan. Di sini, peserta didik yang kompeten adalah mereka yang mampu berinteraksi dengan realitas, belajar untuk takjub dan terpukau terhadap realitas, mengajukan pertanyaan akan realitas tersebut, dan mampu memahami serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul. Pribadi berkompeten adalah pribadi yang terus menerus belajar untuk hidup; yang harus belajar dari dunia, dan di saat yang sama mentransformasikannya. Jadi, pribadi berkompeten adalah pribadi yang mampu mencipta, memahami, dan menggunakan pengetahuan dan keterampilan untuk hidup di dalam konteksnya dan mengubahnya. Pribadi berkompeten berarti mampu untuk bekerja dan berkembang bersama dengan orang lain; mengedepankan kolaborasi bukannya kompetisi. Dalam Standar Mutu Pendidikan Sekolah Yesuit Indonesia, pribadi yang berkompeten tidak hanya cakap dalam kekuatan akademik melainkan juga semangat pantang menyerah (perseverantia, grit, nggetih), dan bugar secara jasmani.
Conscience atau hati nurani adalah kemampuan intrinsik seorang individu untuk memilah dan menimbang-nimbang antara yang baik dan yang benar akan keputusan yang hendak ia ambil untuk bertindak. Dengan demikian, pribadi berhati nurani adalah pribadi yang selain mengenal dirinya sendiri, memiliki pengetahuan dan pengalaman yang tepat tentang masyarakat dan segala ketidakseimbangan yang terjadi di dalamnya. Ia melihat dunia sebagaimana Allah melihat, menggali keindahan dan kebaikan manusia dan ciptaan serta menyadari adanya penderitaan, sengsara, dan ketidakadilan yang terjadi di dunia. Pendidikan di sekolah Yesuit membentuk moralitas dan karakter peserta didiknya dalam rangka mengusahakan kebaikan umum dengan refleksi yang mendalam dan tindakan konkret yang tepat guna Untuk mencapai usaha ini, penggalian dan pendalaman Spiritualitas Ignasian bagi peserta didik perlu diupayakan dan dikembangkan agar mereka merasa ditemani oleh Allah Bapa yang mengirimkan Roh Kudus-Nya untuk membantu pendidik dan peserta didik dalam menggali dan memilah jejak hidup kita dengan meneladani Yesus dari Nazaret. Kekayaan Spiritualitas Ignasian yang dapat semakin dikembangkan adalah pemeriksaan batin harian (Daily Examen of Consciousness) yang mengajak peserta didik untuk menimbang apa yang bisa membuat hidup mereka semakin baik dan mendekati apa yang Allah kehendaki bagi hidupnya dan lingkungan di mana mereka tinggal. Dengan melakukan pemeriksaan batin (Examen of Consciousness), siswa-siswi belajar untuk mendengarkan suara hati dan hati nuraninya sekaligus menapaki jalan ke dalam interioritasnya di mana Allah hadir dan bicara. Bila sudah terbiasa masuk ke dalam interioritas dan hati nuraninya, siswa-siswi ini pun dapat semakin menjalani proses discernment Ignasian agar hidupnya makin mengarah pada kehendak Allah sehingga nama Allah semakin dimuliakan. Pribadi berhati nurani semestinya menunjukkan bahwa ia ini reflektif, mampu bersyukur, dan berani mewujudkan iman dalam hidupnya sehari-hari.
Compassion atau bela rasa adalah sebuah prasyarat bagi tindakan positif dan bukan sekedar perasaan iba untuk individu atau kelompok. Compassion melibatkan pengenalan akan martabat manusia dan nilai pribadi yang dikasihi Allah. Singkatnya, berbela rasa ialah sikap rela dan siap dari seorang pribadi untuk hidup bersama dengan mereka yang menderita. Tokoh acuan bagi pribadi berbela rasa adalah pribadi Yesus yang dalam kemanusiaan-Nya memahami kelemahan-kelemahan kita namun tetap mencela ketidakadilan. Dengan demikian, pribadi berbela rasa adalah pribadi yang mampu mengembangkan perasan kasih sayang menuju kepekaan akan keadilan dan solidaritas terhadap sesamanya. Pengalaman intensif bersama kaum miskin memegang peranan penting untuk melatih diri agar semakin berbela rasa. Pengalaman dan refleksi mengenai kaum miskin amat penting untuk membawa peserta didik pada solidaritas sehingga para pendidik dan peserta didik dapat menjadi agen perubahan dan bekerja sama mewujudkan mimpi Allah. Mereka yang berbela rasa menunjukkan sikap empati, murah hati dalam membantu sesama, dan memiliki keprihatinan khusus bagi yang lemah dan miskin.
Komitmen di sini tidak dapat dilepaskan dari bela rasa (compassion) karena selalu terarah pada penegakan iman dan upaya perubahan sosial, politik, dan struktur sosial demi terwujudnya keadilan. Dengan kata lain, pribadi yang berkomitmen adalah pribadi yang memiliki tindakan berani untuk mewujudkan penegakan iman dan keadilan, termasuk dalam membangun komitmen ekologis yang mencintai lingkungan alam sekitar. Komitmen pada keadilan sosial selalu berkaitan erat dengan komitmen pada lingkungan hidup. Pribadi berkomitmen hendaknya mengalami peristiwa transformatif yang membantunya untuk semakin terbuka baik hati dan pikirannya sehingga makin unggul dalam bersolidaritas terhadap mereka yang menderita, tidak beruntung, dan ditindas. Pribadi berkomitmen menunjukkan jiwa kepemimpinan yang sadar atau kenal diri secara utuh, beringenuitas (berinovasi dan beradaptasi), penuh cinta kasih, dan berjiwa heroisme (punya visi akan masa depan dan berjuang untuk mewujudkannya).
***
Pendidikan karakter di SMA Kolese Gonzaga mengembangkan nilai-nilai keunggulan manusiawi selain membentuk pribadi yang berkompeten, berhati nurani, berbela rasa, dan berkomitmen. Siswa-siswi di SMA Kolese Gonzaga juga menggali semangat kejujuran (honesty) dan kesederhanaan (simplicity).
Humility berasal dari kata Latin humus, yang artinya bumi. Kerendahan hati tidak ada hubungannya dengan kelemahlembutan atau kelemahan. Dan itu juga tidak berarti bersikap tidak menonjolkan diri atau tunduk. Kerendahan hati adalah sikap kesopanan spiritual yang muncul dari pemahaman tempat kita
dalam tatanan yang lebih luas. Kita juga bisa memahami kerendahan hati (humility) sebagai kekuatan karakter. Ini merupakan komponen penting dari karakter moral yang diwujudkan dalam kerendahan hati, bersikap empati, mengakui dan menghormati orang lain. Sebagai kekuatan karakter, kerendahan hati dapat dipandang sebagai kebalikan dari kesombongan, arogansi, dan perasaan berlebihan mengenai diri. Hal ini didasarkan pada sikap kepedulian dan kasih sayang yang mendasar terhadap orang lain.
Integritas sendiri berasal dari kata Latin “integrate” yang artinya:
Hal yang perlu digarisbawahi adalah tentu saja kejujuran dalam hal ini bukan hanya omongan, pemanis retorika, tapi juga tindakan. Ada kesesuaian antara apa yang diomongkan dan juga tindakan yang dilakukan. Jadi, integrity adalah kualitas pribadi dimana seseorang menjunjung sikap jujur dan memiliki prinsip moral yang kuat.
Sebaliknya, sikap sederhana muncul dalam kegiatan yang berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dalam kerangka pendidikan, sikap sederhana ini bisa diwujudkan dalam penggunaan sarana dan prasarana secara maksimal demi pengembangan diri, semangat bekerja keras dalam belajar dan menempa diri.
***
Siswa-siswi SMA Kolese Gonzaga diharapkan sungguh unggul secara manusiawi dengan karakter seperti berkompeten, berhati nurani, berbela rasa, berkomitmen, jujur, dan sederhana. Dengan pribadi yang unggul seperti ini, mereka diharapkan dapat menjadi agen perubahan demi hidup bersama yang lebih baik. Pribadi yang sungguh melayani dan berbagi demi sesamanya: men and women for and with others. Semua ini diarahkan hanya untuk kemuliaan nama Allah yang lebih besar. Ad Maiorem Dei Gloriam.
“Action Statement “to Act as a Universal Body with a Universal Mission”.” Rio de Janeiro: International Congress For Jesuit Education Delegates Rio de Janeiro, Brasil, 2017.
ASJI, (Asosiasi Sekolah Jesuit Indonesia).
Standar Mutu Pendidikan Sekolah Yesuit. Jakarta: Penerbit Asosiasi Sekolah Jesuit Indonesia, 2017.
Secretariat for Education, Society of Jesus.
“Jesuit Education Aims to Human Excellence: Men and Women of Conscience, Competence, Compassion, and Commitment.” Rome: Society of Jesus, 2015.